Senin, 12 Januari 2009

UPAYA-UPAYA TEKNIS UNTUK MENSIASATI KELANGKAAN PUPUK YANG MELANDA PETANI


Pupuk merupakan bahan kimia atau organisme yang berperan dalam penyediaan unsur hara bagi keperluan tanaman secara langsung atau tidak langsung. Penggunaan pupuk kimia secara massif dan intensif untuk peningkatan produktivitas hasil pertanian adalah warisan kebijakan orde baru sebagai bagian dari paket program revolusi hijau, yang saat ini terus membudaya dan membuat ketergantungan di tingkat petani.

Pupuk menyumbang 20 persen terhadap keberhasilan peningkatan produksi pertanian khususnya beras antara tahun 1965-1980, dan keberhasilan Indonesia mencapai swasembada beras di tahun 1984. Faktor lainnya adalah, ketersediaan irigasi yang memadai 20 persen, dan bibit unggul 23 persen. Pada saat yang bersamaan, pemerintah Orde Baru menjadikan pupuk sebagai bagian dari portofolio pembangunan pertanian Indonesia. Hal ini terlihat dari sejumlah kebijakan yang berkontribusi pada meningkatkan konsumsi pupuk, misalnya: Program intensifikasi massal (INMAS), perbaikan sarana disribusi dan perdagangan pupuk, pengawasan secara intensif terhadap harga eceran pupuk, subsisi harga pupuk, pembelian pupuk kredit dipermudah, dan harga hasil panen yang lebih baik. Semua itu dijalankan dalam sistem komando.

Pengaruh krisis global yang terjadi di Indonesia saat ini tidak hanya menghantui kehidupan ekonomi rakyat Indonesia. Secara kongkrit krisis global juga menyeret semua kalangan untuk siap menangung dampaknya yakni kemiskinal massal, PHK massal, dan masalah sosial yang pasti timbul. Krisis global itu juga menyerang petani, khususnya para petani produksinya berorientasi pada pasar eksport.

Indonesia sedang menghadapi ancaman penurunan produksi padi, terutama di tingkat mikropetani dan lokalitas produksi, karena rusaknya lahan akibat bencana banjir dan ancaman musim kering pada pertengahan tahun ini. Secara nasional, produksi padi tahun 2001 mencapai 49,6 juta ton gabah kering giling (GKG), setara 28,7 juta ton beras setelah dikurangi susut dan kebutuhan benih. Apabila ancaman penurunan produksi itu sampai tiga persen, produksi padi tahun ini diperkirakan hanya 48,1 juta ton GKG atau setara 27,7 juta ton beras. Dengan tingkat permintaan beras mencapai 29,9 juta ton (untuk konsumsi rumah tangga 133 kg per kapita per tahun oleh 210 juta penduduk plus kebutuhan antara dan lainnya), impor beras tahun 2002 mencapai 2,2 juta ton. Suatu jumlah yang merisaukan.

Kini, disaat mayoritas produktivitas lahan pertanian kita tergantung dengan pupuk kimia, pemerintah kemudian tidak bisa menjamin ketersediaan pupuk, sehingga kelangkaan pupuk menjadi momok dan terus menghantui kehidupan kaum tani setiap musim tanam tiba. Seperti yang kembali dialami musim tanam tahun ini. Persoalan kelangkaan pupuk yang terjadi akhir-akhir ini, ternyata cukup berdampak terhadap perilaku masyarakat yang terkadang emosional. Sebab, yang paling mendapat dampak paling telak, yakni para petani yang notabene sangat membutuhkan keberadaan pupuk saat musim tanam tahun ini.

Kelangkaan pupuk sebenarnya bersifat semu, persediaan pupuk dunia di negara-negara produsen cukup banyak, paling tidak dalam waktu dekat ini. Tetapi mengingat ketersediaan minyak dan gas bumi semakin menipis, dalam jangka panjang ketersediaan pupuk kimia terbatas dan harganya semakin mahal. Untuk pupuk subsidi, ketersediaannya dibatasi sumber dana yang mampu disediakan pemerintah. Kelangkaan pupuk subsidi masih akan muncul selama alokasi produksi lebih rendah daripada kebutuhan riil petani.

Ancaman lainnya yang sangat nampak di depan mata adalah resiko gagal panen yang tinggi sehingga menggangu ketahanan pangan nasional. Dampak dari kelangkaan pupuk saat ini, tidak dapat disalahkan kalau huru-hara kaum tani akan semakin meluas khususnya di daerah-daerah yang dikenal sebagai sentra-sentra produksi pertanian nasional. Di Jawa Timur contohnya, seperti kejadian di Bojonegoro, ratusan orang menghentikan truk pengangkut pupuk di Desa Prayungan, Sumberrejo dan Baureno. Diprobolinggo, sekitar 1.000 orang menyerbu gudang penyangga pupuk PT. Pupuk Kaltim di Probolinggo. Jika situasi kelangkaan pupuk di biarkan berlangsung lama dan tidak segera diambil sikap dan tindakan yang tepat oleh pemerintah, maka jangan harap keadilan dan kesehjateraan petani, ketahanan pangan dan keberlangsungan produksi pertanian nasional bisa tercipta dan menguntungkan pertumbuhan ekonomi nasional.

Kelangkaan pupuk di beberapa daerah sentra produksi padi di Jawa sejak akhir April 2002 dapat berimplikasi serius terhadap ketahanan pangan nasional. Sebenarnya, pola kelangkaan pupuk yang terjadi saat ini tidak jauh berbeda dari hal serupa pada tahun 1998/1999 sesaat setelah pencabutan subsidi pupuk. Pupuk menghilang dari pasaran dan dari sentra-sentra produksi padi karena pola distribusi amat buruk, terjadi semacam oligopoli sistem pemasaran dan skema ekspor tidak dapat "dikontrol" sepenuhnya oleh sistem kelembagaan yang ada.

Kelangkaan serta tingginya harga pupuk di beberapa daerah telah menyebabkan rendahnya aplikasi pemupukan. Kondisi ini mengakibatkan permasalahan yang serius dalam agribisnis perkebunan. Pada satu sisi pendapatan usaha berkurang karena menurunnya produksi, sedangkan di sisi lain biaya produksi dan biaya operasional mengalami peningkatan. Para pekebun memerlukan berbagai kiat untuk mengantisipasi kelangkaan pupuk agar terhindar dari kebangkrutan usaha.

Biaya produksi dan produktivitas tanaman perkebunan sangat dipengaruhi input utama pupuk. Namun beberapa tahun terakhir karena kebutuhan terus meningkat keberadaannya semakin langka dan harganya makin tinggi mencapai 200-300%. Kelangkaan pupuk selain disebabkan produksi terbatas juga pendistribusiannya kurang baik. Oleh karena itu perlu upaya untuk mengembangkan dan memproduksi pupuk substitusi dari pupuk anorganik yang ada, memperbaiki sistem distribusi pupuk serta menerapkan teknologi pupuk dan pemupukan yang lebih efisien. Upaya-upaya teknis untuk mensiasati kelangkaan pupuk di perkebunan, antara lain adalah:

1. Aplikasi teknologi yang dihasilkan oleh Pusat dan Balai Penelitian lingkup LRPI. Seperti, efisiensi pemupukan melalui pemanfaatan pupuk majemuk, pemanfaatan pupuk organik, pupuk hayati dan organo-hayati serta rasionalisasi pemupukan. Teknologi ini terutama untuk subsektor perkebunan kelapa sawit, karet, teh, tebu, kopi dan kakao.

2. Rasionalisasi pemupukan dengan mengurangi dosis pupuk perlu hati-hati dengan memperhatikan neraca hara. Sebab, pemulihan kondisi tanaman setelah lama mengalami pengurangan dosis pupuk atau peniadaan pemupukan memerlukan daya, dana, dan waktu yang lama.

3. Menerapkan alternatif operasional antara lain pengelolaan nutrisi tanaman terpadu/PNTT (integrated plant nutrient management/IPNM) berupa pemanfaatan biomasa di dalam kebun dan membatasi keluarnya unsur hara dari dalam kebun semaksimal mungkin (limbah kulit buah, penaung, penutup tanah, integrasi ternak-tanaman).

4. Menggunakan pupuk majemuk, pupuk lepas terkendali dan pupuk alternatif. Selain itu, substitusi unsur hara yang dapat menggantikan fungsi fisiologis unsur yang bersangkutan dan pupuk organik yang diperkaya.

5. Menekan kehilangan unsur hara dapat dilakukan lewat teknik aplikasi, frekuensi, modifikasi jenis pupuk, dan peningkatan kapasitas retensi tanah.

6. Melakukan uji mutu pupuk. Penelitian terhadap kualitas pupuk yang beredar di pasar menunjukkan bahwa 45 sampai 81% di antaranya mempunyai kandungan hara kurang dari 90% dari yang tertera pada label. Pupuk-pupuk yang dipalsukan adalah KCl, ZA, SP-36, dan Urea.

7. Menggunakan perangkat uji pupuk sebagai alat untuk mendeteksi keaslian pupuk.

Jelaslah sudah dengan kelangkaan pupuk ini maka semakin memberatkan ekonomi para petani, karena produksi semakin berkurang. Contoh Kasus di Balige dan Lumban Jalu Sumut sudah tiga bulan terakhir kelangkaan pupuk bersubsidi, “kekurangan pupuk mengakibatkan pertumbuhan tanaman tidak normal sehingga hasil panen turun drastis 30 persen dari hasil panen sebelumnya,”sebutnya Sirait warga petani di Lumbanjulu. Mereka khawatir, produksi dari ratusan hektar perkebunan jagung, jeruk, cabai dan sayur mayur akan menurun yang berdampak terhadap penghasilan petani, “ini sudah terbukti dengan hasil tanaman jagung yang menghasilkan, 4,8 ton per hektar yang pada biasanya 7 ton per hektar, ” Kata seorang petani sayuran di Balige, Sumut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar